Sebuah landasan Ontologis
Pendidikan bagi manusia jika ditarik dalam terminologi
Filsafat adalah syarat untuk menjadi (becoming) setelah dengan seluruh
potensi epistemiknya ia mengada (being). Ia merupakan hal fithrawi yang
tidak dapat dilepaskan dari kedirian manusia. Dalam Al-quran digambarkan bahwa
kemuliaan manusia melebihi makhluk lain adalah karena potensi epistemik
(mengetahui) yang dimilikinya (QS. 2:31). Kelebihan itulah yang menyebabkan
Allah memilih manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi (QS. 2:30). Dengan
demikian proses menjalani kehidupan di dunia bagi manusia adalah sebuah
perjalanan aktualisasi potensi epistemik yang dimiliki atau dengan kata lain
kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Keberhasilan manusia menjadi
khalifah tercapai ketika ia berhasil dalam proses pendidikannnya secara
paripurna. Ketika itulah manusia mencapai sosok manusia sempurna (insan kamil).
Dengan pengertian diatas maka pada hakekatnya pendidikan itu adalah
sesuatu yang integral, padu dan utuh serta tidak partikular, tidak parsial dan
tidak terfragmentasi. Hal tersebut seharusnya menjadi landasan ontologis dalam
menyusun konbsepsi tentang sistem pendidikan dan menjadi inspirasi perumusannya
sampai pada tingkat yang praksis.
Secara ontologis dalam diri manusia terdapat tiga fakultas
epistemik yaitu akal, hati dan indra (QS. 16:78). Ketiga fakultas ini harus
mendapat porsi yang sama dan seimbang dalam aktualisasinya dantidak terjadi
fragmentasi sebagaimana yang telah digambarkan diatas. Kesalahan landasan
ontologis akan mengakibatkan lahirnya output sistem pendidikan yang memiliki
kesadaran diri parsial dan mengalami keterbelahan jiwa (Split Personality).
Kesalahan dalam meletakkan landasan ontologis inilah yang menyebabkan
terjadinya persoalan-persoalan yang kompleks menyangkut output dari sekolah
sebagai lembaga yang dipercayakan untuk memproduk manusia-manusia yang
berpendidikan. Landasan ontologis yang menganggap manusia adalah makhluk
materil menyebabkan sekolah hanya berfungsi sebagai instrumen untuk eksplorasi
optimal fakultas akal dan indra manusia saja. Sehingga dengan demikian yang
menjadi target dari sekolah hanyalah untuk mendapatkan kecerdasan inteligensi
atau Inteligensi Quotient (IQ).
Sekolah tidak memenuhi standar moralitas yang didambakan
oleh kemanusiaan Karena hanya bertumpu pada IQ saja sehingga. Sekolah kemudian
hanya melahirkan orang-orang cerdas namun amoral. Sejarah mencatat bahwa Hitler
yang membantai jutaan bangsa Yahudi lahir dari sekolah, Slobodan Milosevic
yang membantai jutaan bangsa muslim Kroasia dan Bosnia lahir dari sekolah,
Mussolini pemimpin fasis Italia lahir dari sekolah , Lenin diktator
Sovyet yang membantai jutaan rakyatnya dan mengirim jutaan lainnya ke kamp-kamp
kerja paksa Siberia juga lahir dari sekolah serta masih banyak lagi
manusia-manusia cerdas cetakan sekolah yang malah mendatangkan petaka bagi
kemanusiaan. Untuk kasus Indonesia, sekolah telah melahirkan koruptor seperti Beddu
Amang, Akbar Tanjung dan lain-lain. Tidak heran kemudian banyak orang yang
bersikap skeptis terhadap sekolah dan menganggap sekolah tidak dapat lagi
dipercaya sebagai institusi untuk membentuk sosok manusia yang utuh. Roem
Topatimasang misalnya dalam bukunya Sekolah Adalah Candu menggambarkan
bahwa sekolah telah menjadi mitos yang membius dan menghipnotis manusia dengan
sebuah bayangan masa depan indah yang sesungguhnya hanyalah sebuah proses
pembodohan. Apalagi sekolah telahj menjadi tunggangan kepentingag ideologi
kapitalisme yang menindas melalui manipulasi kesadaran manusia seperti yang
digambarkan oleh Paulo freire dalam Sekolah
Kapitalisme Yang Licik. Everest Reimer juga menggambarkan bahwa
peran sekolah untuk mencetak manusia yang berkualitas sesungguhnya hanyalah
sebuah bualan dalam bukunya Matinya Sekolah. Makanya Ivan Illich malah menyarankan untuk Keluar Dari Sekolah !
Contoh-contoh
diatas menunjukkan bahwa proses pendidikan yang bersandar pada target IQ an-sich
tidak memenuhi standar kualiats kemanusiaan. Danah Zohar dan D. Goleman
kemudian menawarkan bentuk kecerdasan baru yang dinamakan kecerdasan emosional
atau Emotional Quotient (EQ). EQ ini berusaha menjawab ketimpangan IQ
dengan memfungsikan hati sebagai salah satu fakultas epistemik yang berperan
penting dalam mengontrol dan mengendalikan emosi pada diri manusia. Danah
Zohar dan D. Goleman kemudian melengkapi tawarannya dengan
kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) yang kemudian oleh Ary
Ginanjar Agustian disintesakan menjadi Emotional Spiritual Quotient (ESQ).
Menurut Ary Ginanjar Agustian (ESQ, 2001), jika EQ menekankan sikap
empati dan simpatik dalam hubungan antar manusia untuk meraih kerja dan hidup
sukses secara material, maka ESQ memberi pijakan spiritualitas sebagai dasar
dan kunci meraih sukses dan bahagia tidak hanya secara material tapi juga
spiritual dengan mempererat keharmonisan spiritual ke hadirat Allah.
Robert K. Cooper mengatakan (sebagaimana dikutip Ary
G. A. dalam ESQ) bahwa hati bekerja mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling
dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita
jalani. Hati mengetahui hal-hal yang tidak/dapat diketahui oleh pikiran. Hati
adalah sumber keberanian dan semangat integritas dan komitmen. Hati adalah
sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan
kerjasama, memimpin dan melayani. Dengan ESQ manusia bisa melakukan
pengendalian diri (Self Awareness) dalam segala tindakannya dengan
berpijak pada sebuah nilai yang bernuansa spiritual dan bersifat transenden.
Jika institusi
pendidikan mampu mengadopsi secara integral ketiga model pembentukan dan
pengembangan diri (IQ, EQ, SQ/ESQ) maka pendidikan tidak lagi hanya berfungsi
untuk pemindahan pengetahuan (Transfer of Knowledge) saja, tetapi ada
sebuah proses pembentukan nilai/moralitas (Transformation of Value).
Dengan demikian maka institusi pendidikan akan terhindar dari pencetakan
manusia-manusia cerdas dengan pribadi yang terpecah (Split Personality)
yang amoral.
Menengok
Wajah Pendidikan kita
Supriyoko, pengamat dan praktisi pendidikan dalam sebuah artikelnya di Kompas
mengatakan bahwa kinerja pendidikan nasional beberapa tahun terakhir bisa
disimpulkan dengan tiga kata; rendah, jelek dan (karena itu)
memprihatinkan. Boleh jadi pendapat itu benar. Dunia pendidikan nasional kita
bukan saja gagal menorehkan catatan (apalagi dengan tinta emas)apa pun
yang pantas dibanggakan, sekaligus memikul citra buruk yang menjadi label
memalukan bagi Indonesia dalam pergaulan internasional.
Beberapa catatan tentang kondisi
output pendidikan kita yang memprihatinkan antara lain:
-
peringkat indeks pembangunan manusia
Indonesia hanya di posisi 109 dari 174 negara anggota PBB (Laporan UNDP tentang
Human Development Index/HDI, dipublikasikan tahun 2000)
-
Jika pada tahun 1997 World
Competiveness Yearbook menempatkan SDM Indonesia pada urutan ke-39 maka
menjelang akhir abad XX posisi Indonesia berada di urutan ke-46 dari 47 negara.
Sementara dalam hal penyediaan tenaga insinyur, survey yang dilakukan Institute
For Management Development menempatkan Indonesia di urutan ke-44 dari 47 negara
(Dikutip dari laporan Kompas, Desember 2001).
-
Dalam peringkat tahunan universiats
bermutu di kawasan Asia, Australia dan Selandia Baru, di antara 77 PT terbaik
multi disiplin di kawasan ini, sejumlah universitas di Indonesia cuma bercokol
di “papan bawah”. UI yang selama ini dianggap paling bergengsi hanya di posisi
ke-61, diikuti UGM di urutan ke-68, UNDIP di urutan ke-73 dan UNAIR di urutan
ke-75. Sementara untuk bidang sains dan teknologi, ITB hanya mampu menduduki
peringkat ke-21 dari 39 PT sains dan teknologi yang masuk kategori bermutu (
Kompas, Desember 2001)
Jargon-jargon
pendidikan tentang pengembangan SDM yang digulirkan sejak tahun 1980 begitupun
pada era reformasi masih sebatas wacana. Tidak ada perubahan yang cukup
substansial, misalnya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan secara
signifikan. Sejak tahun anggaran 1982/1983 alokiasi anggaran untuk sektor
pendidikan terus menurun. Tahun anggaran 2000, sektor pendidikan hanya
mendapatkan 3,8 % dari total APBN dan tahun 2001 hanya naik sedikit (kurang
dari 1 %) menjadi 4,4 % dari total APBN. Bandingkan dengan
Malaysia yang sejak tahun 1976 anggaran pendidikannya 20-25 % dari total
anggaran belanja negaranya !
Meski
alokasi anggaran bukan satu-satunya ukuran, tetapi dengan anggaran yang
sebegitu kecil tidak ada yang bisa dilakukan untuk menggerakkan semua lini dari
aspek pendidikan agar ke depan terjadi perubahan substansial pada SDM anak-anak
bangsa. Nampaknya pemerintah masih memandang pendidikan di negeri ini sebagai
“warga” kelas dua. Jangankan mencetak manusia-manusia handal untuk persaingan
global, untuk membenahi ruang-ruang belajar yang layak pun kita masih harus
menempuh kebijakan tambal sulam. Meski selalu menyuarakan bahwa pendidikan adalah
kunci peningkatan SDM tetapi ketika sampai pada tataran kebijakan dan tindakan
semua seperti hilang tak berbekas. Pandangan pragmatis jangka pendek yang
terpusat pada aspek material selalu dikedepankan, mengalahkan kepentingan yang
lebih besar berupa penanaman pondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di
Indonesia pendidikan bukan saja tidak diperhitungkan sebagai modal ekonomi
untuk jangka panjang tetapi juga tidak dikembangkan sebagaiu basis bagi modal
sosial. Padahal kedua aspek tersebut akan berperan dalam menata masyarakat
Indonesia -yang teralienasi dalam masa transisi dan kritis seperti sekarang-
menjadi manusia mandiri dan kritis.
Menjelang
pergantian abad kemarin, Indonesia
dilanda keterpurukan ekonomi yang disusul dengan krisis multidimensi. Di
tengah-tengah kondisi ekonomi morat-marit dan tata kehidupan politik yang
amburadul, tatanan budaya, nilai-nilai moral dan penghargaan terhadap
kemanusiaan pun mengalami kemerosotan. Keteladanan makin menipis sementara di
sisi lain kekerasan dan semangat untuk saling menegasikan semakin terangkat ke
permukaan. Patut kita bertanya: apakah betul –kita sebagai bangsa- selama ini
telah mendapatkan pendidikan dalam arti kata yang sebenarnya ? Kalau betul
kenapa hanya karena sebuah krisis lantas nilai-nilai hidup berbangsa yang
diajarkan untuk dijunjung tinggi tiba-tiba rontok ? Tidak ada lagi sisa-sisa
yang yang menunjukkan bahwa kita pernah menjadi
bangsa yang berbudaya luhur ! Lantas apa kontribusi pendidikan ?
Pendidikan
yang selama ini dijalankan sebagai persekolahan ternyata tidak dapat memberikan
solusi apapun. Pendidikan tidak dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang
bermutu, khususnya untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan jiwa besar.
Pendidikan juga tidak berhasil memberdayakan bangsa ini untuk menghormati
perbedaan dan memecahkan pertikaian secara beradab.
Sudah
saatnya untuk meretas jalan buntu dan menempuh jalan baru pendidikan kita
dengan tekad untuk berubah secara mendasar dalam banyak hal tidak hanya pada
pemerintah melainkan juga pada masyarakat luas. Paradigma pendidikan yang
selama ini dianut dan sudah “keropos” harus dirubah. Pendidikan yang didasarkan
pada paradigma lama berupa penekanan pada pelestarian nilai-nilai masa lalu
jelas tidak bisa diandalkan untuk membangun masa depan. Yang dibutuhkan adalah
suatu sistem pendidikan yang berorientasi pada perintisan nilai-nilai baru (revolusi
nalar ?). iklim birokratis yang selama ini sangat kental dalam praksis
pendidikan kita juga harus digeser ke suasana yang lebih longgar sehingga
birokrasi yang ada lebih difungsikan untuk memperlancar aliran tata kerja dan
bukan justru berperan sebagai penghambat.
Selain itu
visi pendidikan nasional juga perlu dirumuskan ulang sehingga benar-benar
visioner dalam perspektif masa depan yang sesungguhnya. Bukan seperti selama
ini nampak seolah-olah visioner padahal sebenarnya feodal yang isi dan
pelaksanaannya serba seragam dan monolitik. Semua tentu berpulang pada niat dan
tekad yang sungguh-sungguh, khususnya dari para penentu kebijakan di negeri ini.
Setelah berhadapan dengan berbagai kenyataan pahit masih adakah kesadaran pada
kita semua untuk menempatkan pendidikan bukan sekedar sebagai atribut tetapi
benar-benar menempatkan pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa ?
Tetapi,
dengan kesadaran bahwa investasi di bidang pendidikan ini membutuhkan
pengorbanan satu generasi untuk bisa memetik buahnya –sementara mental penguasa
di negeri ini masih saja dibaluti kepentingan-kepentingasn pragmatis jangka
pendek- masih mungkinkah kita menitipkan harapan kepada mereka ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar