Selamat datang di blog Sekolah Dasar Negeri 029 Balikpapan Utara

Selamat datang di blog Sekolah Dasar Negeri 029 Balikpapan Utara

Minggu, 20 Maret 2016

RTH SEBAGAI TEMPAT PEMBELAJARAN SISWA

Description: IMG_3677.ccc.jpg








RTH  adalah singkatan dari RUANG TERBUKA HIJAU. Nama ini belum banyak dikenal orang. RTH ini muncul dari gagasan seorang pengawas TK/SD yang juga sebagai dosen yang bernama DR. SURATA, M.Pd. Beliau tinggal di Teritip Balikpapan Timur. Bapak Surata memiliki semangat dan tanggung jawab yang tinggi, beliau juga cukup disiplin. Daerah kepengawasan beliau adalah di Balikpapan Utara yang walaupun tempat tinggal beliau adalah di Balikpapan Timur Tetapi tidaklah menjadi penghalang untuk melaksanakan tugas-tugas di Balikpapan Utara. Penulis menyaksikan ketika ada jadwal untuk supervisi di sekolah tempat penulis bertugas beliau hadir lebih awal jauh sebelum bel tanda masuk berbunyi,  Bapak Surata berdiri di dekat pintu masuk sekolah dan menyalami murid-murid yang datang kesekolah. Penulis sempat tersipu malu-malu ketika penulis datang dan di dahului oleh beliau padahal penulis datang tidak terlambat. Bukan hanya itu, pernah juga melaksanakan tugas dalam keadaan hujan deras dengan menggunakan mantel tetapi tetap hadir tepat waktu,bahkan sepatu yang dipakai penuh air sampai kaoskaki  yang dipakai dibuka dan diperas. Begitu semangatnya untuk hadir di tempat tugas dan tidak mau terlambat sehingga kadang-kadang hanya menggunakan kendaraan beroda dua dengan alasan bila menggunakan kendaraan beroda empat maka bisa terlambat sampai di tempat tugas.
Bapak Surata adalah seorang pejabat pemerintah yang memilik gagasan-gagasan yang cukup cemerlang di bidang pendidikan termasuk menggagas sebuah tempat belajar siswa di ruang terbuka  di sekolah yang memiliki tanah yang luas untuk bisa ditanami pohon-pohon di sekitar sekolah yang nantinya bisa ditempati murid-murid bebas belajar di bawah pohon-pohon yang rindang dan menghirup udara segar. Pohon-pohon yang di tanam di RTH ini bukan pohon yang pada umumnya tetapi adalah pohon-pohon yang langkah yang tidak banyak dikenal di khalayak ramai seperti : Matoa, bangkirai, ulin , kamper, kapur … padahal pohon-pohon ini adalah hasil hutan pulau Kalimantan. RTH yang pertama kali ada di bukit Pringgong Dani ini milik pak Surata yang terletak di daerah Teritip yang cukup luas yang sudah menjadi tempat penelitian siswa SD, SMP, SMA dan para mahasiswa. Bukan hanya tempat belajar atau penelitian tetapi juga menjadi tempat wisata dan rekreasi karena dilengkapi dengan sarana dan prasaran termasuk ada aula tempat berkumpul para pengunjung. Bapak Surata berkeinginan agar pohon-pohon ini tetap dilestarikan Karena sangat besar manfaatnya dalam kehidupan. Gagasan ini disosialisasikan di sekolah-sekolah tempat binaan beliau termasuk di   SDN.029 Karang Joang Balikpapan Utara. Sekolah yang pertama kali menjadi ajang terciptanya RTH ini adalah di SDN.016 ini. Pohon yang ditanam di RTH ini adalah sumbangan dari bapak Surata sampai pohon dengan jenis yang berbeda dengan maksud bukan hanya di tanam di SDN.016 tetapi ditanam  juga di sekolah lain.  Pada saat penanaman pohon-pohon ini diadakan acara ceremonial yang dihadiri oleh Bapak Walikota Bapak Rizal Efendi dan pejabat-pejabat lainnya bahkan bapak walikota sendiri yang menanam langsung pohon di RTH SDN.016 ini.
Bapak Surata berharap agar RTH ini akan muncul di sekolah lain karena RTH ini sangat besar fungsi dan manfaatnya dalam kehidupan di sekolah.
Adapun kegunaan pohon-pohon tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai paru-paru dunia
2.      Untuk menjadi Pilter dari polusi udara
3.      Tempat bernaung belajar siswa-siswi di luar ruangan
4.      Sebagai media pembelajaran secara langsung bagi siswa-siswai
5.      Untuk menghijaukan lingkungan sekolah
Demikian cerita singkat tentang RTH, kalau ingin mengetahui lebih lanjut silahkan dibuka email PRINGGONGDANI.                                                                      

                                                                                               Penulis
                                                                       Martan, S.Pd


Minggu, 13 Maret 2016

PENDIDIKAN DAN SETUMPUK ASA KEMANUSIAAN

Sebuah landasan Ontologis

Pendidikan bagi manusia jika ditarik dalam terminologi Filsafat adalah syarat untuk menjadi (becoming) setelah dengan seluruh potensi epistemiknya ia mengada (being). Ia merupakan hal fithrawi yang tidak dapat dilepaskan dari kedirian manusia. Dalam Al-quran digambarkan bahwa kemuliaan manusia melebihi makhluk lain adalah karena potensi epistemik (mengetahui) yang dimilikinya (QS. 2:31). Kelebihan itulah yang menyebabkan Allah memilih manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi (QS. 2:30). Dengan demikian proses menjalani kehidupan di dunia bagi manusia adalah sebuah perjalanan aktualisasi potensi epistemik yang dimiliki atau dengan kata lain kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Keberhasilan manusia menjadi khalifah tercapai ketika ia berhasil dalam proses pendidikannnya secara paripurna. Ketika itulah manusia mencapai sosok manusia sempurna (insan kamil).
Dengan pengertian diatas maka pada hakekatnya pendidikan itu adalah sesuatu yang integral, padu dan utuh serta tidak partikular, tidak parsial dan tidak terfragmentasi. Hal tersebut seharusnya menjadi landasan ontologis dalam menyusun konbsepsi tentang sistem pendidikan dan menjadi inspirasi perumusannya sampai pada tingkat yang praksis.
Secara ontologis dalam diri manusia terdapat tiga fakultas epistemik yaitu akal, hati dan indra (QS. 16:78). Ketiga fakultas ini harus mendapat porsi yang sama dan seimbang dalam aktualisasinya dantidak terjadi fragmentasi sebagaimana yang telah digambarkan diatas. Kesalahan landasan ontologis akan mengakibatkan lahirnya output sistem pendidikan yang memiliki kesadaran diri parsial dan mengalami keterbelahan jiwa (Split Personality). Kesalahan dalam meletakkan landasan ontologis inilah yang menyebabkan terjadinya persoalan-persoalan yang kompleks menyangkut output dari sekolah sebagai lembaga yang dipercayakan untuk memproduk manusia-manusia yang berpendidikan. Landasan ontologis yang menganggap manusia adalah makhluk materil menyebabkan sekolah hanya berfungsi sebagai instrumen untuk eksplorasi optimal fakultas akal dan indra manusia saja. Sehingga dengan demikian yang menjadi target dari sekolah hanyalah untuk mendapatkan kecerdasan inteligensi atau Inteligensi Quotient (IQ).
Sekolah tidak memenuhi standar moralitas yang didambakan oleh kemanusiaan Karena hanya bertumpu pada IQ saja sehingga. Sekolah kemudian hanya melahirkan orang-orang cerdas namun amoral. Sejarah mencatat bahwa Hitler yang membantai jutaan bangsa Yahudi lahir dari sekolah, Slobodan Milosevic yang membantai jutaan bangsa muslim Kroasia dan Bosnia lahir dari sekolah, Mussolini pemimpin fasis Italia lahir dari sekolah , Lenin diktator Sovyet yang membantai jutaan rakyatnya dan mengirim jutaan lainnya ke kamp-kamp kerja paksa Siberia juga lahir dari sekolah serta masih banyak lagi manusia-manusia cerdas cetakan sekolah yang malah mendatangkan petaka bagi kemanusiaan. Untuk kasus Indonesia, sekolah telah melahirkan koruptor seperti Beddu Amang, Akbar Tanjung dan lain-lain. Tidak heran kemudian banyak orang yang bersikap skeptis terhadap sekolah dan menganggap sekolah tidak dapat lagi dipercaya sebagai institusi untuk membentuk sosok manusia yang utuh. Roem Topatimasang misalnya dalam bukunya Sekolah Adalah Candu menggambarkan bahwa sekolah telah menjadi mitos yang membius dan menghipnotis manusia dengan sebuah bayangan masa depan indah yang sesungguhnya hanyalah sebuah proses pembodohan. Apalagi sekolah telahj menjadi tunggangan kepentingag ideologi kapitalisme yang menindas melalui manipulasi kesadaran manusia seperti yang digambarkan oleh Paulo freire dalam Sekolah Kapitalisme Yang Licik. Everest Reimer juga menggambarkan bahwa peran sekolah untuk mencetak manusia yang berkualitas sesungguhnya hanyalah sebuah bualan dalam bukunya Matinya Sekolah. Makanya Ivan Illich  malah menyarankan untuk  Keluar Dari Sekolah !
Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa proses pendidikan yang bersandar pada target IQ an-sich tidak memenuhi standar kualiats kemanusiaan. Danah Zohar dan D. Goleman kemudian menawarkan bentuk kecerdasan baru yang dinamakan kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). EQ ini berusaha menjawab ketimpangan IQ dengan memfungsikan hati sebagai salah satu fakultas epistemik yang berperan penting dalam mengontrol dan mengendalikan emosi pada diri manusia. Danah Zohar dan D. Goleman   kemudian melengkapi tawarannya dengan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) yang kemudian oleh Ary Ginanjar Agustian disintesakan menjadi Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Menurut Ary Ginanjar Agustian (ESQ, 2001), jika EQ menekankan sikap empati dan simpatik dalam hubungan antar manusia untuk meraih kerja dan hidup sukses secara material, maka ESQ memberi pijakan spiritualitas sebagai dasar dan kunci meraih sukses dan bahagia tidak hanya secara material tapi juga spiritual dengan mempererat keharmonisan spiritual ke hadirat Allah.
Robert K. Cooper mengatakan (sebagaimana dikutip Ary G. A. dalam ESQ) bahwa hati bekerja mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati mengetahui hal-hal yang tidak/dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani. Dengan ESQ manusia bisa melakukan pengendalian diri (Self Awareness) dalam segala tindakannya dengan berpijak pada sebuah nilai yang bernuansa spiritual dan bersifat transenden.
Jika institusi pendidikan mampu mengadopsi secara integral ketiga model pembentukan dan pengembangan diri (IQ, EQ, SQ/ESQ) maka pendidikan tidak lagi hanya berfungsi untuk pemindahan pengetahuan (Transfer of Knowledge) saja, tetapi ada sebuah proses pembentukan nilai/moralitas (Transformation of Value). Dengan demikian maka institusi pendidikan akan terhindar dari pencetakan manusia-manusia cerdas dengan pribadi yang terpecah (Split Personality) yang amoral.

Menengok Wajah  Pendidikan kita
Supriyoko, pengamat dan praktisi pendidikan dalam sebuah artikelnya di Kompas mengatakan bahwa kinerja pendidikan nasional beberapa tahun terakhir bisa disimpulkan dengan tiga kata; rendah, jelek dan (karena itu) memprihatinkan. Boleh jadi pendapat itu benar. Dunia pendidikan nasional kita bukan saja gagal menorehkan catatan (apalagi dengan tinta emas)apa pun yang pantas dibanggakan, sekaligus memikul citra buruk yang menjadi label memalukan bagi Indonesia dalam pergaulan internasional.
Beberapa catatan tentang kondisi output pendidikan kita yang memprihatinkan antara lain:
-                peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia hanya di posisi 109 dari 174 negara anggota PBB (Laporan UNDP tentang Human Development Index/HDI, dipublikasikan tahun 2000)
-                Jika pada tahun 1997 World Competiveness Yearbook menempatkan SDM Indonesia pada urutan ke-39 maka menjelang akhir abad XX posisi Indonesia berada di urutan ke-46 dari 47 negara. Sementara dalam hal penyediaan tenaga insinyur, survey yang dilakukan Institute For Management Development menempatkan Indonesia di urutan ke-44 dari 47 negara (Dikutip dari laporan Kompas, Desember 2001).
-                Dalam peringkat tahunan universiats bermutu di kawasan Asia, Australia dan Selandia Baru, di antara 77 PT terbaik multi disiplin di kawasan ini, sejumlah universitas di Indonesia cuma bercokol di “papan bawah”. UI yang selama ini dianggap paling bergengsi hanya di posisi ke-61, diikuti UGM di urutan ke-68, UNDIP di urutan ke-73 dan UNAIR di urutan ke-75. Sementara untuk bidang sains dan teknologi, ITB hanya mampu menduduki peringkat ke-21 dari 39 PT sains dan teknologi yang masuk kategori bermutu ( Kompas, Desember 2001)
Jargon-jargon pendidikan tentang pengembangan SDM yang digulirkan sejak tahun 1980 begitupun pada era reformasi masih sebatas wacana. Tidak ada perubahan yang cukup substansial, misalnya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan secara signifikan. Sejak tahun anggaran 1982/1983 alokiasi anggaran untuk sektor pendidikan terus menurun. Tahun anggaran 2000, sektor pendidikan hanya mendapatkan 3,8 % dari total APBN dan tahun 2001 hanya naik sedikit (kurang dari 1 %) menjadi 4,4 % dari total APBN. Bandingkan dengan Malaysia yang sejak tahun 1976 anggaran pendidikannya 20-25 % dari total anggaran belanja negaranya !
Meski alokasi anggaran bukan satu-satunya ukuran, tetapi dengan anggaran yang sebegitu kecil tidak ada yang bisa dilakukan untuk menggerakkan semua lini dari aspek pendidikan agar ke depan terjadi perubahan substansial pada SDM anak-anak bangsa. Nampaknya pemerintah masih memandang pendidikan di negeri ini sebagai “warga” kelas dua. Jangankan mencetak manusia-manusia handal untuk persaingan global, untuk membenahi ruang-ruang belajar yang layak pun kita masih harus menempuh kebijakan tambal sulam. Meski selalu menyuarakan bahwa pendidikan adalah kunci peningkatan SDM tetapi ketika sampai pada tataran kebijakan dan tindakan semua seperti hilang tak berbekas. Pandangan pragmatis jangka pendek yang terpusat pada aspek material selalu dikedepankan, mengalahkan kepentingan yang lebih besar berupa penanaman pondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia pendidikan bukan saja tidak diperhitungkan sebagai modal ekonomi untuk jangka panjang tetapi juga tidak dikembangkan sebagaiu basis bagi modal sosial. Padahal kedua aspek tersebut akan berperan dalam menata masyarakat Indonesia -yang teralienasi dalam masa transisi dan kritis seperti sekarang- menjadi manusia mandiri dan kritis.
Menjelang pergantian abad  kemarin, Indonesia dilanda keterpurukan ekonomi yang disusul dengan krisis multidimensi. Di tengah-tengah kondisi ekonomi morat-marit dan tata kehidupan politik yang amburadul, tatanan budaya, nilai-nilai moral dan penghargaan terhadap kemanusiaan pun mengalami kemerosotan. Keteladanan makin menipis sementara di sisi lain kekerasan dan semangat untuk saling menegasikan semakin terangkat ke permukaan. Patut kita bertanya: apakah betul –kita sebagai bangsa- selama ini telah mendapatkan pendidikan dalam arti kata yang sebenarnya ? Kalau betul kenapa hanya karena sebuah krisis lantas nilai-nilai hidup berbangsa yang diajarkan untuk dijunjung tinggi tiba-tiba rontok ? Tidak ada lagi sisa-sisa yang yang menunjukkan bahwa kita pernah menjadi  bangsa yang berbudaya luhur ! Lantas apa kontribusi pendidikan ?
Pendidikan yang selama ini dijalankan sebagai persekolahan ternyata tidak dapat memberikan solusi apapun. Pendidikan tidak dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang bermutu, khususnya untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan jiwa besar. Pendidikan juga tidak berhasil memberdayakan bangsa ini untuk menghormati perbedaan dan memecahkan pertikaian secara beradab.
Sudah saatnya untuk meretas jalan buntu dan menempuh jalan baru pendidikan kita dengan tekad untuk berubah secara mendasar dalam banyak hal tidak hanya pada pemerintah melainkan juga pada masyarakat luas. Paradigma pendidikan yang selama ini dianut dan sudah “keropos” harus dirubah. Pendidikan yang didasarkan pada paradigma lama berupa penekanan pada pelestarian nilai-nilai masa lalu jelas tidak bisa diandalkan untuk membangun masa depan. Yang dibutuhkan adalah suatu sistem pendidikan yang berorientasi pada perintisan nilai-nilai baru (revolusi nalar ?). iklim birokratis yang selama ini sangat kental dalam praksis pendidikan kita juga harus digeser ke suasana yang lebih longgar sehingga birokrasi yang ada lebih difungsikan untuk memperlancar aliran tata kerja dan bukan justru berperan sebagai penghambat.
Selain itu visi pendidikan nasional juga perlu dirumuskan ulang sehingga benar-benar visioner dalam perspektif masa depan yang sesungguhnya. Bukan seperti selama ini nampak seolah-olah visioner padahal sebenarnya feodal yang isi dan pelaksanaannya serba seragam dan monolitik. Semua tentu berpulang pada niat dan tekad yang sungguh-sungguh, khususnya dari para penentu kebijakan di negeri ini. Setelah berhadapan dengan berbagai kenyataan pahit masih adakah kesadaran pada kita semua untuk menempatkan pendidikan bukan sekedar sebagai atribut tetapi benar-benar menempatkan pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa ?
Tetapi, dengan kesadaran bahwa investasi di bidang pendidikan ini membutuhkan pengorbanan satu generasi untuk bisa memetik buahnya –sementara mental penguasa di negeri ini masih saja dibaluti kepentingan-kepentingasn pragmatis jangka pendek- masih mungkinkah kita menitipkan harapan kepada mereka ?